Minggu, 16 Desember 2012

How Comes to be the Ultimate Travelmate?


Kita masih the ultimate travelmate kok, beneran masih, ya walaupun kadangan juga traveling sendiri-sendiri. Contohnya kayak bulan lalu, aku (Cora) traveling bareng anak-anak 26MataBoa tanpa Pongky. Waktu itu Pongky sedang sibuk PBL di Demak. Jadi sewaktu mereka ngajak pergi ya aku ayo-ayo saja.

Pamer dikit nggak pa-pa ya, sayang :P
Namun kali ini aku bukan mau mengulas perjalanan ke Taman Nasional Baluran. Cuma mau sedikit saja bicara tentang kita berdua. #eaaakkk

Aku dan Pongky bertemu pertama kali pada akhir Februari 2011. Waktu itu aku akan mengikuti pendidikan dasar rafting di mapala universitas kami. Karena nggak punya carrier, waktu itu aku minjem carrier punya seorang kakak senior, dengan perantara temannya yang bernama Pongky. Ya, carrier kakak senior itu juga sedang dipinjam oleh Pongky. Hahaha. Entah kenapa semakin kesini kami semakin akrab, dan menemukan beberapa kesamaan minat. 
Aku adalah mahasiswa UNDIP yang sempat frustasi dengan jurusanku sendiri. Aku suka perjalanan, hal-hal yang berkaitan dengan alam, gunung dan pantai. Selain itu aku juga suka seni. Aku suka nyanyi sambil main gitar, suka keindahan lukisan, dan antusias terhadap fotografi. Ya, walaupun aku bukan penyanyi, gitaris, pelukis, ataupun fotografer. Sebenarnya aku bisa disebut sebagai penulis, karena aku sudah melahirkan sebuah buku karanganku sendiri. Impianku selanjutnya juga menjadi seorang travelwriter. Bagiku, menulis adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, baik itu menulis cerita, novel, catatan harian, artikel, maupun menulis di blog pribadi.
Sementara Pongky adalah mahasiswa pekerja keras (aseeek) dari universitas yang sama, hanya saja kami berbeda jurusan dan dia dua tingkat lebih tua dariku. Pongky juga seorang pecinta alam, suka perjalanan dan hal-hal yang berkaitan dengan alam. Namun bedanya, dia lebih super dariku, dan dia suka berenang (aku nggak bisa berenang T.T). Pongky juga suka seni, khususnya musik. Dia main gitarnya jago banget. Kalo dia main gitar, aku jadi tukang nyanyinya. Sementara kalo aku yang main gitar, yang jadi tukang nyanyinya...tetep aku. Pongky sangat berminat dalam dunia fotografi. Jadi kalo kami traveling, dia yang jadi fotografernya, sementara aku yang meliput detail perjalanannya dan menuliskannya kembali. Pongky ini punya passion yang sangat kuat dalam bidang kewirausahaan. Sampai saat ini dia sedang mengembangkan bisnis yang sudah dijalankannya sejak setahun terakhir, yang juga berhubungan dengan kegiatan outdoor dan traveling. 

Selain kesamaan, banyak juga perbedaan lainnya antara aku dan dia. Bahkan nggak sedikit sifat kami yang bertolak belakang. Namun perbedaan itu membuat kami saling melengkapi satu sama lain.

Maka dari sanalah aku menetapkan Pongky sebagai teman perjalananku, dan Pongky menetapkan aku sebagai teman perjalanannya. Dengan menyatukan minat yang sama, saling melengkapi kekurangan, dan memaklumi perbedaan, we will be the ultimate travelmate!

Sekian :))


Jumat, 14 Desember 2012

Dieng Plateau (lagi) dan Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa



Coz I remember every sunset, I remember every word you say~
we will never gonna say goodbye, say la ta ta ta taa~
Till we had to get back to, back to summer paradise with you~
I'll be there in the heartbeat~
Wooh, I'll be there in the heartbeat~




Sabtu (08/12) yang lalu, the ultimate travelmate kembali mengunjungi Kawasan Dieng Plateau untuk yang kedua kalinya. Bedanya kalo setahun yang lalu naik bis, kali ini kami naik motor sendiri. Kalo setahun yang lalu cuma liat-liat telaga warna, goa-goa, sama kawah Sikidang, sekarang kami ingin melihat golden sunrise di bukit Sikunir. Dan kalo setahun lalu masih agak-agak jadul, sekarang udah lebih modern. -___-
Kami berangkat dari Semarang jam 9.30 pagi dan sampai ke Dieng jam 15.30 sore, dengan berbagai rintangan salah satunya ban motor pecah di Ambarawa. Belum sampai ke Dieng, kami mampir dulu makan siang di alun-alun Wonosobo. Menu makan siang kami kali ini adalah:
Tarraaaa...!!! ini dia salah satu kuliner khas Wonosobo dan Dieng, MIE ONGKLOK.
Harganya 5000 doang perporsi, tapi kalo nambah sate sapi setusuknya 1000.
(Dalam rupiah lho, bukan dollar)
Sampai di Dieng, kami tidak langsung menuju bukit Sikunir yang terletak di Desa Sembungan, tapi mampir dulu di kawasan candi Arjuna dengan tujuan nyari WC umum, shalat, hunting-hunting foto dan tentunya menikmati keindahan candi.


Ini dia pelataran candi Arjuna yang di penuhi pohon Cemara.
Penampakan candinya sendiri dapat dilihat pada foto paling atas postingan ini.
Nah, setelah memuaskan diri di kawasan candi Arjuna, kami segera melanjutkan perjalanan ke desa Sembungan yang akan ditempuh selama setengah jam lagi dari tempat ini. Bagi yang belum tahu, Desa Sembungan itu adalah desa tertinggi di Pulau Jawa lho. Jadi dinginnya subhanallah, hampir seperti di puncak gunung!
Jam 18.30, sehabis maghrib, kami sampai di desa Sembungan. Untuk ngecamp atau mendaki di kawasan ini, kami harus membayar tiket masuk dulu di pos, kalo tidak salah bayarnya 3000 perorang. Setelah bayar, penjaga di pos membantu kami untuk menyimpan motor di tempat yang aman. Ada dua opsi lokasi ngecamp yang cihuy, yang pertama di tepi telaga Cebong, dan yang kedua di puncak Sikunir. Sebenarnya sih kami lebih tertarik ngecamp di kawasan telaga Cebong, karena pemandangan telaga ini sangat indah dan tidak terlalu banyak angin dan kabut seperti di puncak. Tapi karena takut kesiangan dan ketinggalan momentum sunrise, kami memutuskan untuk ngecamp di puncak. Tanpa mengulur waktu lagi kami segera memulai pendakian menuju puncak Sikunir. Ternyata kami hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke puncaknya, benar-benar waktu yang tidak seberapa dibandingkan mendaki gunung-gunung lainnya. (Ya iya lah ya! namanya juga bukit, bukan gunung.)
Mungkin karena waktu itu malam minggu, jadi puncak dipenuhi dengan para pendaki lainnya. Kira-kira ada 10 tenda yang memenuhi puncak Sikunir pada malam itu. Kami sendiri memilih mendirikan tenda di tempat yang agak tersembunyi dari tiupan angin. Namun rasa dingin tidak juga hilang karena Sleeping bag yang harusnya membungkus badan beralih fungsi jadi matras. Ya, itulah salah satu kebodohan kami, bawa tenda tapi matrasnya tidak dibawa. Jadi aku harus puas hanya dengan mengenakan baju ditambah dua jaket, kupluk, sarung tangan dan kaos kaki tipis.
Sekitar jam setengah 6 pagi, kami bersiap-siap untuk menyaksikan sunrise. Sayang, terlalu banyak kabut dan awan tebal, sehingga kami tidak dapat menyaksikan golden sunrise ini dengan sempurna.
ini dia sebagian kecil dari momen golden sunrise yang kami saksikan.
Ketutupan awan ya... hiksss.
Beberapa jam kami habiskan untuk menikmati keindahan sunrise, gunung Sindoro yang menjulang tinggi di depan mata, pegunungan yang berlapis-lapis, dan perkampungan Dieng yang tampak dari puncak. Setelah puas, kami mulai beres-beres, dan turun dari bukit.
Inilah telaga cebong, dan bukit Sikunir yang berada di antara bukit-bukit lainnya (yang di tengah).
Selamat tinggal Desa Sembungan... selamat tinggal... selamat tinggal....
Belum puas dengan candi Arjuna dan puncak Sikunir, kami kembali menjelajahi kawasan sekitar kawah Sekidang. Di sini banyak terdapat jualan yang hampir menyerupai pasar. Aku sendiri membeli oleh-oleh buah carica khas Dieng, dan terong Belanda sebanyak satu kilo (gram ya, bukan meter). Kemudian disini kami juga sarapan dengan nasi goreng dan berbagai gorengan hangat. Pokoknya masakannya enak-enak deh, ciyuusss!
Oh iya, cerita tentang anak dengan rambut gimbal alami itu ternyata benar lho. Haha. Kami telah menyaksikan sendiri dua orang anak perempuan yang benar-benar berrambut gimbal, dan dua-duanya masih berusia kira-kira 8 tahunan. Fenomena seperti ini konon hanya terjadi di Dieng, dan mereka itu masih keturunan leluhurnya Dieng. Katanyaaa...
Menuju kawah Sikidang...
Penjelajahan kami di Dieng berakhir sampai disini, karena masih banyak urusan yang setia menanti di Semarang, khususnya buat Pongky. Setelah membeli bekal untuk perjalanan pulang di indomaret, kami langsung capcusss, kembali ke Semarang tercinta. <3