Rabu, 28 September 2011

Kali Pancur dan Rawa Pening di Musim Kemarau

Hai. Sekitar satu minggu yang lalu PONCOL pergi ke Salatiga untuk mengunjungi Objek wisata Kalipancur dan Rawa Pening. Kami pergi bersama dua teman lain dengan mengendarai motor selama kurang lebih dua jam dari kota Semarang.
Pertama, kami mengunjungi Kalipancur. Setelah menelusuri petunjuk-petunjuk dimanakah sang air terjun berada, akhirnya tibalah kami di gerbang lokasi. Turun dari motor, kami langsung disambut gembira oleh bocah-bocah penduduk sekitar sana. Hal yang pertama kali mereka lontarkan pada kami adalah “Hweee… mbake nggowo wedus!!!”, terus yang lainnya berkata “Ora, iku saun de sip!!!” well, saun de sip (baca:shaun the seep) adalah boneka domba kartun yang selalu kami bawa kemana pun kami pergi jalan-jalan. Sabar ya nak, dibilang wedus terus dirimu.
Kami pun tanpa banyak bersabar langsung berjalan menyusuri tangga yang panjang dan curam untuk menuju lokasi air terjun. Rupanya bocah-bocah ini tadi sangat ramah dan mau mengantarkan kami sampai ke bawah. Namun apa yang kami temukan setelah sampai di bawah? Air terjun utamanya kecil sekali. Dengan sedikit perasaan kecewa kami duduk di batu-batu besar diantara air yang mengalir tidak terlalu deras. Ternyata kami kurang beruntung mengunjungi air terjun di musim kemarau seperti ini. Air yang mengalir hanya sedikit, seperti cucuran mata air kecil, tidak seperti biasanya yang mengalir dengan deras.



















Setelah bosan berfoto-foto ria di air terjun kering, kami berjalan menyusuri tangga ke atas bukit karena penasaran ada apa gerangan yang terdapat di atas sana. Ternyata diatas ada anak-anak mapala UPN jogja yang mendirikan camp. Mereka sedang melakukan kegiatan Rock Climbing di tebing yang terletak tidak jauh dari sana. Kami pun berkenalan dengan mereka.









Hari sudah menunjukkan pukul 3 sore, maka kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan berikutnya, yaitu ke Rawa Pening. Dengan susah payah kami menaiki tangga curam tadi untuk kembali ke parkiran, sambil berkali-kali duduk dan minum karena kecapekan. Pengunjung lainnya memasang tampang yang sama menyedihkannya dengan kami, kecuali bocah-bocah yang dari tadi mengikuti kami. Mereka malah dengan girangnya berjoget-joget menghibur kami.
“Nggak capek dek?” tanyaku kemudian.
“Nggak lah mbak, udah biasa. Tiap hari mandi disini kok.” Jawab salah satu dari mereka.
Hah, malu sekali kalah kuat sama balita-balita ini.

***
Dengan berbekal naluri yang kuat, kami mencoba menerobos jalan tembus menuju ke Rawa Pening. Rasanya hampir putus asa mengingat jalannya yang benar-benar jelek dan kami tidak sampai-sampai ke tempat tujuan. Beberapa kali bertanya pada orang dipinggir jalan, akhirnya kami sampai juga ke tempat tujuan. Untuk melihat Rawa Pening dari dekat, kami masuk ke kawasan bukit bintang yang khusus disediakan untuk berwisata. Harga karcisnya Rp.3.000,- per kepala. Tapi… Lagi-lagi kami kecewa dengan apa yang kami dapatkan. Rawa Pening juga kering kerontang di musim kemarau.

 Cora : haduh, mama pusing nih Shaun. Papa mana lagi? Haduuh..Pongky : Heh, papa disini, dibelakang kalian. Ayo kita main putar-putaran aja daripada di bikin pening sama Rawa Pening.








Haaah, mungkin karena suka bikin pening itulah asal mula tempat ini disebut Rawa Pening. Semua orang di bikin terpening-pening karenanya. Ckckckckck.

Senin, 26 September 2011

Sejuknya Dataran Tinggi Dieng



Bagi teman-teman yang merasa bosan berhari-hari merasakan penatnya udara panas di keramaian kota, tidak ada salahnya di suatu kesempatan kalian mencicipi nikmatnya udara dingin di Dataran Tinggi Dieng. Dieng merupakan salah satu objek wisata terkenal yang terletak di Wonosobo, Jawa tengah. Ketinggiannya mencapai 2050an meter di atas permukaan laut, dan suhu udaranya berkisar antara 15°—10°. Itu sebabnya dieng terkenal sangat dingin. Kebetulan saat kami berdua datang berwisata kesana, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Nah, bayangkan, jam segitu saja dinginnya sudah minta ampun, bagaimana kalau datangnya malam atau pagi hari.

Ceritanya, saya dan pacar saya (yes, a couple of blind traveller) datang dari Semarang naik bus ekonomi. Yup, kami sengaja naik bis ekonomi biar lebih adventurious . Dengan penumpang yang memang tidak penuh bus kamipun meluncur dengan mulus. Sampai ditengah jalan nggak ada hujan dan nggak ada badai bus kami tiba-tiba berhenti. Usut punya usut tenyata kami akan di-oper ke bus lain dengan alasan yang jeles-jelas tidak jelas. Kamipun mengalah pindah bus dan ternyata bus baru kami ini begitu penuh sesak. Untuk ukuran bus ukuran sedang, bus ini ditunggangi oleh lebih dari 50 orang dan belasan orang yang nggak kebagian tempat duduk dengan sukarela berdiri sepanjang perjalanan yang masih cukup panjang ( satu setengah jam perjalanan). Karena saat kami masuk hanya tersisa satu tempat duduk, maka sayalah yang dipersilahkan pacar saya untuk duduk. Rasa-rasanya saya nggak tega juga liat pacar saya berdiri sepanjang jalan tetapi saya juga merasa beruntung dilahirkan sebagai seorang perempuan yang memang harus dilindungi. Eiittzz..tapi itu bukan berarti saya manja atau cengeng loh.

Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah kami di Kota tujuan kami. Bus kami berhenti di terminal Kota Wonosobo lalu naik angkot lagi sampai ke tempat tem-teman terakhir mini bus yang akan membawa kami sampai ke tujuan terakhir(objek wisata Dieng). Turun dari mini bus, kami langsung disambut gembira oleh beberapa jasa ojek yang mangkal di simpang. Mereka bilang, objek wisatanya masih jauh, paling dekat yah Telaga Warna yang letaknya masih satu kiloan lagi. Kalau mau sewa ojek biayanya Rp.50.000,- per kepala, sudah bisa mengelilingi semua objek wisatanya, diantarkan mencari penginapan, dan ditunggu sampai berjam-jam oleh tukang sewanya. Tapi dengan tegas kami menolaknya karena kami adalah backpacker sejati. hehe. Berjalan kaki sejauh satu kilo bukan hal berat bagi kami, karena di sepanjang perjalanan itu kami dapat melihat pemandangan perkebunan sayur dan buah-buahan. Tidak lupa pula kami singgah shalat di musholah Baiturrahman Dieng yang imut-imut.
Masjid Baiturrahman, Dieng - Sumber Foto: Pongky
Sesampainya di kawasan Telaga Warna dan Telaga Pengilon, kami mengeluarkan uang Rp. 14.000,00- untuk membeli 2 tiket masuk. Tiket ini sudah mencakup objek wisata Telaga Warna, Telaga Pengilon dan beberapa gua (Gua Semar, Gua Sumur dan Gua Jaran).






















Telaga Warna memiliki tiga pantulan warna yaitu kehijauan yang disebabkan oleh belerang, kemerahan yang disebabkan oleh ganggang di dasar telaga, dan kebiruan yang disebabkan oleh warna alami air yang terkena pantulan sinar matahari.
Patung yang terdapat di gua Semar, gua Sumur dan gua Jaran - Sumber Foto: Pongky
Sekitar 300 meter dari kawasan telaga, di atas lereng bukit Sikindil, terdapat DIENG PLATEU TEATER yang menampilkan film sejarah Dieng berdurasi sekitar 20 menit. Untuk menontonnya, kita perlu merogoh kocek lagi Rp. 5.000,- per kepala.

Sialnya, kami tidak dapat melanjutkan perjalanan selanjutnya karena turun hujan. Udara menjadi semakin dingin dan saya mengenakan jaket yang tidak terlalu tebal. Jadi kami memutuskan untuk pulang dan menikmati malam di pusat kota Wonosobo. Di sini kami sempat makan malam di warung sate ayam yang mangkal di dekat alun-alun Kota Wonosobo. Dan satu hal yang tidak pernah kami lewatkan setiap kali traveling yaitu susur mall, haha. Malam itu juga kami putuskan untuk kembali ke Semarang. Karena tidak ada bus yang  ke Semarang langsung, kamipun menyarter mobil ke Magelang untuk kemudian menunggu bus ke Semarang dari arah Jogja atau Solo. Saat perjalanan kembali ke Semarang, kejadian seperti saat kami berangkat kembali terulang. Yap, saya duduk dan pacar saya berdiri. Dan lagi lagi dialah yang menawarkan saya untuk duduk. dan ternyata durasi berdirinya kali ini agak lebih panjang, malam-malam pula,ckckck. Yang tabah yah sayang. Hidup memang kejam,wkwkwkwk.